Pelajaran perihal Pendidikan: Apa yang Keliru?

Pelajaran perihal Pendidikan: Apa yang Keliru?

saminsambongrejo – “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Kutipan dari Nelson Mandela ini telah sangat sering kita dengar dari pemerhati-pemerhati dan penggiat pendidikan. Pendidikan adalah senjata paling kuat yang bisa digunakan untuk merubah dunia. Bisa menjadi suatu negara tidak miliki sumber kekuatan alam yang memadai, tetapi negara berikut bisa berkembang pesat menjadi negara maju sebab miliki sumber kekuatan manusia yang handal yang diciptakannya melalui sistem pendidikan. Negara itu pun bisa keluar sebagai negara yang berpengaruh di seluruh dunia.

Perspectives kali ini akan mengulas sedikit perihal pendidikan. Namun ini bukanlah suatu kritik terhadap sistem pendidikan yang ada di suatu negara. Ini adalah sebuah sistem berbagi insight dari pengalaman yang diperoleh dari lapangan, yaitu pengalaman mengunjungi sekolah-sekolah dan berinteraksi bersama siswa-siswanya.

Mari kita berangkat dari suatu kenyataan yang keluar di masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Kita kadangkala mendapati bahwa kecerdasan anak cuma dilihat dari kemampuannya dalam berhitung. Sebut saja cerdas adalah jago dalam matematika, fisika, dan kimia. Jadilah masyarakat mempercayai suatu konstruksi opini yang tentu berupa parsial ini. Anak yang hebat dalam bermain musik, menciptakan hasta karya, lakukan olahraga permainan, dan apalagi miliki kekuatan public speaking yang mendebarkan hati, kadang sementara diakui tidak cerdas cuma sebab mereka kurang terkenal dalam ilmu matematika, fisika, dan kimia. (Bukan maksud penulis untuk meng-kambing hitam-kan ketiga mata pelajaran tersebut). Pandangan inilah yang bisa dikatakan sebagai pandangan yang tak lengkap.

Dr. Howard Gardner, seorang Profesor pendidikan di Harvard University,

memberikan delapan type kecerdasan yang tidak sama untuk menjelaskan potensi manusia yang lebih luas terhadap anak-anak dan orang dewasa. Delapan kecerdasan berikut adalah kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan matematika/logika, kecerdasan spasial/visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan spiritual. Dr. Gardner sendiri menjelaskan bahwa sekolah-sekolah dan budaya kita terhadap kebanyakan menambahkan atensi yang utama terhadap kecerdasan matematika dan verbal. Meskipun demikian, dia menjelaskan bahwa kita seyogyanya menambahkan perhatian yang sama terhadap individu yang menonjol terhadap kecerdasan lain, layaknya para artis, arsitek, musisi, desainer, penari, dan pengusaha sebab mereka ikut andil dalam memperkaya dunia daerah kita seluruh hidup [1].

Lebih lanjut, keadaan pendidikan di beberapa negara termasuk diekspresikan oleh para pengamat sebagai keadaan yang salah. Bahkan beberapa film box office terinspirasi dari ada suatu hal yang diakui tidak tepat dalam sistem pendidikan, peranan menambah kesadaran masyarakat perihal apa itu pendidikan yang sesungguhnya. Tidak sedikit pemerhati pendidikan yang berasumsi bahwa sekolah dan perguruan tinggi cuma merupakan daerah untuk mencetak orang-orang industri ataupun hanyalah pekerja. Tentu tidak seluruh keluarannya akan masuk ke dalam perusahaan ataupun dunia industri. Tapi sistem studi yang dibangun terhadap kebanyakan selamanya mengarah kesana. Sekolah dan kuliah seolah-olah cuma bertujuan untuk meraih pekerjaan semata. Juga bahwa sekolah tidak menyiapkan anak untuk menjadi mandiri.

Sekolah tidak berhasil memicu anak menjadi individu yang otentik sebab cara studi yang cuma “copy-paste” dikutip dari https://johnnysrealnypizza.com/. Sekolah adalah daerah guru memberikan ceramah materi yang membosankan. Meskipun ada kegiatan ekstrakurikuler untuk menunjang minat dan hobi, tetapi beberapa guru tetap berasumsi bahwa sekolah adalah daerah untuk kegiatan akademik saja agar terjadilah dualisme, pembelahan yang berlebihan antara kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler dalam sistem mengevaluasi siswa. Pada pada akhirnya dia yang cerdas adalah dia yang mendapat peringkat 1 di kelas bersama nilai matematika, fisika, dan kimia adalah 100 kendati dia adalah seseorang yang tidak sudi bersosialisasi bersama orang lain. Bahkan kecenderungan antisosial itu diakui bukan masalah, dimaklumi.

Proses pendidikan secara operasional setidaknya melibatkan empat pihak,

siswa/pembelajar, guru, keluarga (wali), dan pemerintah melalui departemen pendidikan. Keempatnya adalah subsistem yang membangun sistem pendidikan. Pembelajar adalah sasaran, guru adalah pelaksana, orang tua terhadap dasarnya termasuk pelaksana sekaligus supervisor, sementara itu pihak pemerintah adalah supervisor dan perancang kurikulum pendidikan. Semua saling berkaitan tentunya. Sebagai sistem, tidak optimalnya salah satu pihak akan pengaruhi keberhasilan seluruh sistem.

Kita tidak bisa cuma melemparkan tanggung jawab kepada salah satu pihak untuk merespon pernyataan “ada yang salah”. Kita tidak bisa seluruhnya menyalahkan pemerintah kerena menyusun kurikulum yang tidak tepat. Revisi kurikulum adalah salah satu usaha pembenahan dan perbaikan dari beragam masukan yang ada. Kita termasuk tidak bisa seluruhnya menyalahkan guru, sebab guru tidaklah 24 jam mengawasi siswa. Guru termasuk bukan orang tua pengganti.

Kita termasuk tidak bisa menyalahkan orang tua sebab lingkungan anak tidak terbatas terhadap lingkungan keluarga. Sekuat apa-pun orang tua menambahkan pengajaran tetapi terkecuali tidak dapat dukungan oleh guru-guru di sekolah, perihal itu cuma akan jadi besar konflik internal dalam diri anak. Oleh sebab itu, apa yang ditanamkan guru di sekolah wajib disinergikan bersama apa yang diajarkan orang tua. Tentu kita termasuk tidak bisa mempersalahkan siswa dalam urusan ini. Dia adalah subjek yang akan dibina. Bukan sebab siswa nakal kemudian kita menjadikannya biang kerok atas tidak berjalannya sistem ini. Guruku dulu bicara kepadaku, bukan siswa yang ribut dan mengacau tetapi kitalah sebagai guru yang tidak bisa mengelola kelas dan menarik perhatian siswa tersebut.

Dari banyaknya pengertian yang dikemukakan oleh para pakar

dan dari pelajaran yang terambil dari lapangan tadi, pendidikan merupakan suatu sistem membina dan mengembangkan potensi yang ada terhadap individu sejak lahir untuk bertumbuh dan berkembang sebagai manusia sesuai fitrahnya, bersamaan bersama untuk apa dia diciptakan, agar manusia bisa meraih keselamatan dan kesejahteraan hidup. Jika setiap manusia sejahtera maka komunitas dan masyarakat, akan sejahtera. Sedikit senada bersama kutipan Martin Luther, when schools flourish, all flourishes. Pendidikan yang tepat di setiap negara yang dioperasionalisasikan dalam pendidikan formal, nonformal dan informal menjadi salah satu penentu kesejahteraan bangsa.

Pendidikan tidak cuma tekankan terhadap satu aspek saja. Sebagai manusia, pertumbuhan dan perkembangannya meliputi aspek fisik, aspek kognitif, aspek sosio-emosional dan aspek moral. Jika kita mendidik manusia, artinya kita menunjang pertumbuhan dan pertumbuhan aspek-aspek tersebut. Manusia adalah kesatuan dari tiga dimensi, dimensi jasmani, dimensi psikologis yang didalamnya ada emosi, kehendak, ego, dan dimensi spiritual yang di dalamnya termasuk hati nurani. Oleh sebab itu, pendidikan seyogyanya menyentuh ketiga ranah tersebut.

Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kekuatan berpikir.

Berbagai keterampilan berpikir diajarkan kepada pelajar. Kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir dialektik. Siswa termasuk diajarkan untuk bisa berasumsi terbuka (open-minded). Tentu merupakan suatu kesalahan besar terkecuali kita berasumsi siswa yang senang bertanya, siswa yang lakukan suatu hal di luar instruksi guru, siswa yang menambahkan pandangan tidak sama terhadap apa yang disampaikan guru, adalah siswa yang nakal dan biang kerok. Bisa menjadi itu adalah kesempatannya untuk mengembangkan kekuatan berpikirnya.

Pendidikan bertujuan untuk membina kepribadian dan mengajarkan etika dalam berperilaku. Pelajar mungkin miliki kekuatan berpikir di atas rata-rata. Dia miliki kreativitas yang tinggi. Namun kita sebagai pendidik seyogyanya bisa mengarahkan siswa berikut agar bisa menunjukkan kemampuannya bersama tepat dan berterima sebab tentu saja manusia tidak hidup sendiri. Dia dihadapkan terhadap realitas sosial yang salah satunya bahwa ada adat istiadat yang berisi tata perilaku.

Lebih dari itu setiap manusia miliki hati nurani yang bisa menilai perihal yang benar dan salah agar bisa pilih tabiat mana yang bisa ditunaikan dan mana yang tidak bisa. Siswa yang kronis dan kreatif tetapi tidak tahu norma kesopanan akan kurang diterima dalam kehidupan sosial ini. Perihal kepribadian, pendidik miliki peran dalam membina pola pola pikiran, perasaan dan tingkah laku siswa yang nantinya akan mencerminkan siapa dirinya. Tentu saja kita mengidamkan siswa yang kritis, kreatif dan termasuk miliki kepribadian yang sehat. Kepribadian yang sehat dalam perihal ini termasuk miliki integritas, keyakinan diri, regulasi diri, empati, tidak anti sosial.

Pendidikan bertujuan untuk menambah kepekaan sosial.

Pendidik seyogyanya bisa mengarahkan peserta didiknya menjadi seseorang yang peka terhadap isu-isu kemanusiaan sebab perihal ini bisa mengantarkannya menjadi seseorang yang selamanya memikirkan kehidupan sosial. Memikirkan bagaimana dia bisa berfaedah bagi orang lain ataupun masyarakat, bagaimana dia bisa menunjang orang lain yang membutuhkan. Apa yang dia pelajari dari sekolah tidaklah untuk dirinya sendiri, tetapi termasuk untuk orang lain yang sama-sama hidup di dunia ini. Kita seyogyanya bisa mengajak peserta didik menjadi seorang manusia yang memanusiakan manusia.

Dengan seluruh itu, manusia yang dihasilkan dari sistem pendidikan adalah manusia yang miliki kekuatan berpikir, kepribadian yang sehat, dan juga peka terhadap kehidupan ini. Ini sama sekali bukan tugas yang enteng dan sembarangan. Oleh sebab itu, pendidik, termasuk guru, bukanlah pekerjaan yang enteng dan remeh. Bukan suatu hal yang sesederhana memberi makan anak-anak. Ini adalah tugas besar nan mulia. Guru berkontribusi terhadap pembinaan manusia-manusia berbudi luhur.

Menjadi pendidik adalah pilihan dari hati, bukan terpaksa. Itu adalah panggilan hati, bukan untung-untungan atau bukan sebab tidak miliki pilihan lain. Guru yang mengajar sebab panggilan hati tentu saja akan lebih menghayati perannya itu sebagai guru dan mengajar sepenuh hati. Howard Hendricks memberikan kutipan yang artinya ini, “teaching that impacts is not head to head but heart to heart”, yang artinya pengajaran yang berdampak bukanlah pengajaran dari kepala ke kepala tetapi dari hati ke hati. Pengajaran yang tidak cuma menyentuh kognisi siswa, tetapi menyentuh hatinya. Bisakah kita menyentuh hati siswa terkecuali kita tidak mengajar bersama sepenuh hati?

Pembahasan kita sejauh ini baru berkutat terhadap target pendidikan itu.

Belum lagi kita mengulas perihal metode belajar. Guru tidak cuma bertugas mengajar materi, cuma masuk kelas menjelaskan materi pelajaran. Guru bukan hanyalah penceramah, guru adalah pembina, pelatih, penasehat. Dengan demikian, guru seyogyanya miliki metode yang variatif dan pelibatan siswa dalam pengalaman terstruktur merupakan salah satu metode yang efektif. Mari kita cermati kutipan Benjamin Franklin, “tell me and I’ll forget, show me and I may remember, involve me and I learn.” Bisa kita petik pelajaran dari sini bahwa pendidikan itu adalah sistem menambahkan pengalaman kepada peserta didik.

Pendidikan, khususnya pendidikan formal di sekolah, tidak bisa begitu saja mengesampingkan minat dan hobi siswa. Itulah salah satu alasan ada kegiatan ekstrakurikuler dan orang tua pun seyogyanya bisa tahu bahwa anaknya pilih kegiatan ekstrakurikuler tertentu. Tidak melulu menyuruh anaknya untuk ikuti les-les bertema mata pelajaran. Jika anak menyukai bermain musik, tak mengapa melepas dia untuk menggeluti itu tanpa wajib melupakan sekolahnya. Orang tua seyogyanya bisa mengajarkan anak untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya, melepas anak studi perihal konsekuensi dan risiko, tidak serta-merta melarang anak untuk memilih.

Coba bayangkan, anak kamu telah ikuti full day school dari pukul 08.00 sampai 16.00, lalu dia wajib ikuti les bahasa inggris sesudah itu, dan di malam hari dia wajib ikuti les matematika. Hidup ini bukan perihal itu saja, banyak cara untuk berprestasi tak sekedar menjadi juara kelas ataupun juara olimpiade. Jika anak menikmatinya maka itu tidak menjadi masalah, lumayan mengingatkan dia untuk beristirahat dan beribadah. Tapi bagaimana terkecuali anak tidak menikmatinya?

Sebagai penutup tulisan ini,

ada satu lagi kutipan dari C.S. Lewis yang menggugah. “The task of the modern educator is not to cut down jungles, but to irrigate deserts.” Artinya kurang lebih layaknya “tugas pendidik modern bukanlah untuk menebangi hutan, tetapi untuk mengairi padang pasir”. Makna apa yang bisa kita petik dari kalimat tersebut? Bagi saya, ada tiga makna. Pertama, pendidik di jaman modern ini bukanlah bertugas untuk menghasilkan orang-orang yang cuma sudi berbuat kerusakan, menghancurkan apa yang telah ada, tetapi menjadi orang yang menambahkan manfaat, membangun suatu hal yang bisa digunakan untuk kesejahteraan umat manusia.

Kedua, pendidik bukanlah hanyalah membina manusia-manusia yang cuma mengidamkan jalur pintas untuk meraih keberhasilan, tetapi manusia-manusia yang sudi berproses di jalur yang tidak mudah, yang miliki kreativitas dan konsistensi dan juga ketangguhan untuk melalui jalur itu, sebab hidup ini bukan cuma perihal jalur yang mulus, hidup ini termasuk perihal jalur yang berbatu nan berliku. Ketiga, pendidikan, pembinaan generasi bukanlah pekerjaan yang hasilnya bisa dinikmati saat itu juga mata. Itu adalah sistem panjang dan apalagi melelahkan, sistem lintas generasi. Hasilnya mungkin tidak keluar terhadap generasi sementara ini tetapi terhadap generasi berikutnya. Bersabarlah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *