Pagi menunjukkan pukul 7.30 WIT di salah satu desa di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. Namun, salah satu sekolah dasar negeri (SDN) di wilayah tersebut masih terlihat lengang.
Berbeda dengan kota besar, seperti Jakarta, sekolah umumnya sudah dipadati siswa sejak pukul 7 pagi.
Apalagi, hari itu tidak bertepatan dengan hari libur nasional yang mengharuskan semua aktivitas belajar ditiadakan.
Pantauan Kompas.com, murid-murid mulai berdatangan sekira 30 menit kemudian. Kebanyakan dari mereka datang secara berkelompok menumpang mobil bak yang hendak menuju sekolah itu.
Selang beberapa menit, para guru juga mulai berdatangan. Wali kelas membuka sejumlah pintu kelas yang terkunci agar anak-anak dapat langsung melakukan aktivitas belajar. Di kelas, alat belajar mengajar terbatas, hanya ada bangku, meja, dan papan tulis.
Setelah itu, salah satu guru nampak keluar menghampiri tengah lapangan untuk menaikkan bendera Merah Putih.
“Berkibarnya bendera Merah Putih adalah tanda bahwa sekolah ini ada aktivitas dan kegiatan belajar. Bila tidak berkibar, itu tandanya tak ada satu pun aktivitas yang berlangsung di sekolah ini,” ujar Evi yang merupakan guru kelas lima di sekolah tersebut memberi keterangan pada Kompas.com, Rabu (27/9/2023).
Begitulah aktivitas dimulai di fasilitas belajar tersebut. Tidak setiap hari. Sebab, kata Evi tak adanya aktivitas kegiatan belajar yang ada di sekolah tersebut adalah hal lumrah terjadi.
Timpangnya pendidikan
Kegiatan belajar-mengajar di desa-desa Papua memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.
Untuk berangkat ke sekolah, tak jarang siswa ataupun guru menemui tantangan, mulai dari cuaca buruk, kendala transportasi, kurangnya jumlah tenaga pengajar, hingga isu demonstrasi yang berpotensi mengganggu situasi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di sisi lain, lokasi sekolah memang cukup jauh dari pusat kota atau keramaian. Jalan yang ditempuh pun cukup terjal dan tidak rata lantaran hanya beralaskan bebatuan dan tanah merah.
“Seperti hari ini, guru yang hadir cuma tiga orang. Kalau ada isu demo, kami pasti tidak naik (menuju sekolah) karena demo pada 2019 (yang menyebabkan kerusuhan) dan itu sangat traumatis serta berdampak hingga saat ini,” terangnya.
Kondisi kelas di SDN yang ada di desa di Kabupaten Jayawijaya yang cenderung seadanya.(Dok. Kompas.com/Erlangga Satya)
Meski demikian, Evi mengaku bahwa tidak semua sekolah di Papua seperti yang ada di tempatnya. Di kota, katanya, kegiatan belajar-mengajar berlangsung normal jika tidak ada isu demo. Pada hari-hari biasa, guru seluruhnya disiplin untuk datang.
“Saya cukup kaget (saat bertugas di sekolah ini dan mendapati banyak guru yang tidak hadir). Terlebih, siswa di sini punya semangat besar untuk bersekolah. Selain itu, tidak adanya alat dan fasilitas pendukung juga membuat saya cukup tercengang. Kurikulum yang digunakan pun tidak jelas. Padahal, saat ini, pemerintah sudah mewajibkan penggunaan Kurikulum Merdeka,” kata Evi.
Menurut Evi, ketidakjelasan kurikulum dan sistem yang dianut sekolah itu pun berdampak besar pada para murid.
Akibatnya, sistem pembelajaran yang didapat siswa tidak sistematis. Pada akhirnya, manfaat belajar bagi siswa pun tidak optimal.
Evi turut mengkritisi sistem penerimaan murid yang terkesan mengejar kuantitas murid semata.
Alhasil, banyak murid yang belum bisa membaca meskipun berada di kelas lima, bahkan di tingkatan atasnya. Selain itu, banyak pula murid dengan usia yang tidak sesuai dengan tingkat kelasnya belajar.
“Saya pegang kelas lima dan masih banyak murid yang belum bisa membaca. Selain karena masalah tadi, alat pembelajaran di sini juga tidak disediakan. Bisa dilihat kan kondisi kelas di sini cenderung kosong dan seadanya. Makanya, kadang saya siapkan sendiri dari rumah,” tutur Evi.
Jauh berbeda dengan kota
Meski memprihatinkan, tapi masalah sekolah di desa tersebut merupakan potret realita dari rentannya sistem pendidikan yang ada di daerah pinggiran di Wamena saat ini. Bahkan, Papua secara keseluruhan.
Oleh karena itu, tak heran jika kemampuan literasi di kalangan anak-anak Papua masih jauh tertinggal dibandingkan teman-teman sebaya mereka di Tanah Air.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, Papua disebutkan menjadi provinsi dengan penduduk buta huruf terbanyak lantaran hanya sekitar 18,81 persen masyarakat yang bisa membaca.
Padahal, literasi jadi kemampuan penting yang perlu dimiliki seorang anak agar ia bisa belajar dan mengakses berbagai informasi untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Pekerjaan rumah terkait dengan pendidikan harus segera diatasi. Untuk sekolah di desa, misalnya, fasilitas perlu ditingkatkan.
Adapun jika dibandingkan dengan fasilitas pendidikan yang ada di pusat kota, ketimpangan yang terjadi memang jelas terlihat dari segala aspek. Kompas.com sempat mengunjungi sekolah yang terletak di pusat kota dan membandingkannya.
Meski sama-sama sekolah dasar, salah satu SD yang ada di Kota Wamena, punya sejumlah fasilitas belajar, mulai dari rak sepatu, loker, majalah dinding, poster belajar macam abjad dan perhitungan, hingga hiasan dinding.
Salah satu SD yang ada di pusat Wamena yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung. Hal ini sangat bertolak belakang dengan yang ada di sejumlah desa.(Dok. Kompas.com/Erlangga Satya)
Bahkan, sekolah tersebut juga memiliki wadah untuk memfasilitasi hasil karya para siswa yang ingin menuangkan kreativitasnya melalui cerita pendek berupa Pojok Baca.
“Selain fasilitas, kami juga mencoba mengarahkan anak sedari dini melalui visi dan misi yang jelas. Di sini, kami menerapkan visi untuk membangun anak-anak yang berkarakter Kristus. Kami tanamkan itu agar mereka punya karakter baik. Kemudian, tiap kelas, kami sediakan Pojok Baca agar minat baca anak-anak tumbuh,” ujar Septa yang merupakan Kepala Sekolah di SD tersebut.
Berkat semua kelebihan itu, tak heran jika para siswa sekolah tersebut memiliki segudang prestasi, baik lokal maupun nasional.
Piala dan piagam penghargaan di ruang kepala sekolah jadi bukti suksesnya SD tersebut.
Namun, banyaknya fasilitas dan prestasi itu tak mengartikan sekolah tersebut luput dari tantangan.
Meski telah menerapkan Kurikulum Merdeka seperti yang dicanangkan pemerintah, Septa mengaku bahwa sekolah tersebut masih memiliki kendala fundamental terkait terbatasnya infrastruktur digital.
“Kami terapkan Kurikulum Merdeka Mandiri. Tantangan paling sulit dalam penerapannya itu adalah para guru tidak terbiasa menggunakan laptop. Untuk mengatasi itu, kami pun melakukan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar yang ada. Murid di sini juga tak terbiasa (dengan aktivitas digital) sehingga kami kerap mengakalinya dengan memberikan lembar kerja biasa untuk mereka kerjakan,” ucap Septa.
Terkait kualitas pendidikan di wilayah Wamena secara menyeluruh, Septa berharap, hal ini bisa didapatkan secara adil dan merata di masa depan. Sebab, ia menyadari bahwa ada ketimpangan kualitas pendidikan di tanah Papua.
“Kami harus bekerja sama untuk mewujudkan itu, mulai dari sekolah, dinas pendidikan, hingga orangtua harus sama-sama berupaya. Untuk orangtua, terutama di ring dua dan tiga, saya harap bisa lebih terbuka terhadap pendidikan karena masih banyak juga yang tidak mendukung anaknya bersekolah,” katanya.
Kendala geografis
Untuk mengurai permasalahan pendidikan di Wamena, Kompas.com menemui dinas pendidikan setempat.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Bambang mengatakan, salah satu hal yang menyebabkan belum meratanya sistem dan kualitas pendidikan yang baik di wilayahnya adalah terkait masalah geografis.
“Tantangannya ini yang ada di wilayah luar, seperti ring dua dan tiga. Kami kerap kesulitan untuk mengakses semua sekolah tersebut karena (lokasinya) terpencar sehingga pengawasannya sulit. Kami sudah berencana untuk membaginya ke dalam sembilan wilayah kerja untuk dilakukan pengawasan. Kami juga telah mengontrak sejumlah guru orang asli Papua (OAP) untuk tambahan tenaga kerja,” jelas Bambang.
Penambahan guru OAP sebagai tenaga pengajar, lanjut Bambang, juga diperlukan untuk membantu pihaknya mengakses wilayah kerja yang kurang terjamah pemerintah.
Selain itu, guru OAP dibutuhkan karena dinilai lebih memahami medan di lapangan ketimbang guru luar yang kerap merasa asing sehingga menimbulkan keraguan untuk mengakses wilayah luar Wamena.
Meski begitu, carut-marut kondisi sosial dan pendidikan di wilayah itu tak jarang membuat semua upaya mitigasi yang dilakukan menemui jalan buntu.
Bahkan, pihak yang awalnya datang dan ingin membantu dengan serius jadi mundur perlahan lantaran merasa kehabisan akal dalam mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Padahal, Bambang menerangkan bahwa kompleksitas yang melatari permasalahan pendidikan di wilayah Wamena tidak bisa diatasi oleh satu pihak saja.
Untuk itu, ia mengapresiasi salah satu pihak yang hingga saat ini memiliki komitmen besar dalam mengatasi masalah kerentanan pendidikan di Wamena, yakni Wahana Visi Indonesia (WVI).
WVI adalah organisasi Kemanusiaan Kristen yang berfokus pada pelayanan kepada anak tanpa membedakan agama, ras, suku, dan gender.
Organisasi itu aktif dalam kegiatan kemanusiaan, baik yang bersifat tanggap darurat, advokasi, maupun pengembangan masyarakat.
WVI sendiri sudah ada di Wamena sejak 2004 dan secara konsisten membantu mengatasi berbagai masalah kerentanan pada anak, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan anak.
Tanggung jawab kemanusiaan
Salah satu alasan WVI berkomitmen dalam mendampingi anak-anak di Wamena adalah karena tugas tersebut sudah menjadi tanggung jawab mereka sebagai organisasi kemanusiaan.
Selain itu, WVI juga ingin agar anak-anak di Wamena bisa memiliki akses pendidikan yang layak dan berkualitas sehingga mereka memiliki masa depan yang jauh lebih baik ketimbang saat ini.
WVI berkomitmen untuk terus bisa membantu anak-anak di Indonesia agar mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak. (Dok. WVI)
Berdasarkan survei yang dilakukan WVI pada 2021 terhadap ekosistem pendidikan di wilayah tersebut, 62,7 persen anak kelas tiga tidak bisa membaca dengan pemahaman, lalu, 95,96 persen anak tidak pernah mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD).
Untuk fasilitas sekolah, 50,4 persen sekolah disebutkan tidak memiliki sumber air yang layak, 56 persen tidak memiliki toilet, 71,2 persen tidak memiliki toilet terpisah.
Survei tersebut bahkan menemukan bahwa banyak anak SD yang tidak bisa membaca, tapi tetap bisa lulus sekolah.
Oleh karena itu, WVI melakukan berbagai kegiatan pendampingan masyarakat agar dapat meminimalisasi masalah tersebut.
Area Program Manager (APM) Kabupaten Jayawijaya WVI Joko Prasetiyo mengatakan, salah satu cara yang dilakukan WVI untuk mengatasi kerentanan pendidikan adalah dengan menggagas Program Organisasi Penggerak (POP).
Program itu merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta fokus pada peningkatan kualitas membaca dan menulis untuk siswa sekolah dari kelas satu hingga tiga.
“Programnya berupa pelatihan, in house training, dan pelatihan untuk guru. Kami harap, program ini punya efek jangka panjang. Sebab, setelah program ini tak ada, kami ingin mereka sudah memiliki kemampuan literasi yang baik dan bisa menularkannya pada lingkungan,” kata Joko.
Adapun berdasarkan survei menggunakan instrumen school-based test about reading (STAR) terhadap program itu di Kabupaten Jayawijaya setelah tiga tahun, kemampuan membaca dengan pemahaman dari anak-anak wilayah tersebut mampu menunjukkan peningkatan.
Sebagai informasi Baccarat Casino, survei tersebut dilakukan terhadap 40 sekolah yang tersebar di seluruh Wamena.
Sebelumnya, survei diambil pada 2019. Kala itu, isi survei menyimpulkan bahwa anak yang mampu membaca dengan pemahaman di Wamena hanya 45,5 persen. Namun, pada 2022, kemampuan membaca dengan pemahaman tersebut naik menjadi 67,3 persen.
“Meski belum sampai 70 persen, tapi ada peningkatan. Dari yang hanya sekadar membaca, tapi kini mulai memahami apa yang dibaca dan itu fokus kami di sini. Ke depan, kami akan terus melakukan pendampingan masyarakat untuk bisa terus mengatasi isu kerentanan kesehatan dan pendidikan yang ada di Wamena,” terang Joko.
Joko berharap, anak-anak ataupun sekolah di Wamena nantinya dapat dikelilingi oleh lingkungan yang kaya literasi.
“Seperti disampaikan pak Bambang juga, masalah geografis itu memang jadi tantang tersendiri untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan di Wamena. Oleh karena itu, WVI berharap, bisa terus menjalin sinergi dengan dinas pendidikan dan berbagi informasi terkait cara apa yang dibutuhkan untuk membantu memajukan pendidikan di Wamena,” tuturnya.
WVI sendiri, katanya, berkomitmen untuk berada di Wamena dan Kabupaten Jayawijaya untuk membantu mengentaskan isu-isu kesehatan dan pendidikan.
Namun, tujuan tersebut tak akan bisa WVI capai sendirian. Sebab, dukungan besar dari dinas terkait, masyarakat, dan mitra, dibutuhkan agar semua masalah kerentanan terhadap anak bisa diatasi.
Semakin besar dukungan yang diberikan, termasuk dari mitra, maka akan semakin cepat pula masalah itu dapat teratasi.
“Mengatasi masalah di Wamena dan Kabupaten Jayawijaya bukan hal mudah. Kami tidak bisa bekerja sendirian dan berharap dukungan dan kolaborasi bisa terus mengalir dari dinas terkait, masyarakat, dan mitra. Anak-anak di Wamena berhak untuk mencapai harapan dan mimpi mereka. Saya percaya kita semua bisa membantu untuk mewujudkan harapan-harapan mereka,” tutur Joko.
Meski ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan bersama, baik WVI maupun masyarakat tetap memiliki peran dan bisa berkontribusi.